Lahir 10 November 1923 dari induk bernama Goma-go dan anjing
jantan bernama Ōshinai-go, namanya sewaktu kecil adalah Hachi. Pemiliknya
adalah keluarga Giichi Saitō dari kota Ōdate, Prefektur Akita. Lewat seorang
perantara, Hachi dipungut oleh keluarga Ueno yang ingin memelihara anjing
jenis Akita Inu. Ia dimasukkan ke dalam anyaman jerami tempat beras
sebelum diangkut dengan kereta api yang berangkat dari Stasiun Ōdate, 14
Januari 1924. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 jam, Hachi sampai
di Stasiun Ueno, Tokyo.
Hachi menjadi anjing peliharaan Profesor Hidesaburō
Ueno yang mengajar ilmu pertanian di Universitas Kekaisaran Tokyo.
Profesor Ueno waktu itu berusia 53 tahun, sedangkan istrinya, Yae berusia 39
tahun. Profesor Ueno adalah pecinta anjing. Sebelum memelihara Hachi, Profesor
Ueno pernah beberapa kali memelihara anjing Akita Inu, namun semuanya tidak
berumur panjang.
Beginilah
ceritanya :
Pagi itu, seperti biasa sang Profesor berangkat mengajar ke
kampus. Dia seorang profesor yang sangat setia pada profesinya. Udara yang
sangat dingin tidak membuatnya malas untuk menempuh jarak yang jauh menuju
kampus tempat ia mengajar. Usia yang semakin senja dan tubuh yang semakin rapuh
juga tidak membuat dia beralasan untuk tetap tinggal di rumah. Begitu juga
Hachiko, tumpukan salju yang tebal dimana-mana tidak menyurutkan kesetiaan
menemani tuannya berangkat kerja. Dengan jaket tebal dan payung yang terbuka,
Profesor Ueno berangkat ke stasun Shibuya bersama Hachiko.
Tempat mengajar Profesor Ueno sebenarnya tidak terlalu jauh dari
tempat tinggalnya. Tapi memang sudah menjadi kesukaan dan kebiasaan Profesor
untuk naik kereta setiap berangkat maupun pulang dari universitas.
Kereta api datang tepat waktu. Bunyi gemuruh disertai terompet panjang
seakan sedikit menghangatkan stasiun yang penuh dengan orang-orang yang sudah
menunggu itu. Seorang awak kereta yang sudah hafal dengan Profesor Ueno segera
berteriak akrab ketika kereta berhenti. Ya, hampir semua pegawai stasiun maupun
pegawai kereta kenal dengan Profesor Ueno dan anjingnya yang setia itu,
Hachiko. Karena memang sudah bertahun-tahun dia menjadi pelanggan setia
kendaraan berbahan bakar batu bara itu.
Setelah mengelus dengan kasih sayang kepada anjingnya layaknya dua
orang sahabat karib, Profesor naik ke gerbong yang biasa ia tumpangi. Hachiko
memandangi dari tepian balkon ke arah menghilangnya profesor dalam kereta,
seakan dia ingin mengucapkan,” saya akan menunggu tuan kembali.”
” Anjing manis, jangan pergi ke mana-mana ya, jangan pernah pergi
sebelum tuan kamu ini pulang!” teriak pegawai kereta setengah berkelakar.
Seakan mengerti
ucapan itu, Hachiko menyambut dengan suara agak keras,”guukh!”
Tidak berapa lama petugas balkon meniup peluit panjang, pertanda
kereta segera berangkat. Hachiko pun tahu arti tiupan peluit panjang itu.
Makanya dia seakan-akan bersiap melepas kepergian profesor tuannya dengan
gonggongan ringan. Dan didahului semburan asap yang tebal, kereta pun
berangkat. Getaran yang agak keras membuat salju-salju yang menempel di
dedaunan sekitar stasiun sedikit berjatuhan.
Di kampus, Profesor Ueno selain jadwal mengajar, dia juga ada
tugas menyelesaikan penelitian di laboratorium. Karena itu begitu selesai
mengajar di kelas, dia segera siap-siap memasuki lab untuk penelitianya. Udara
yang sangat dingin di luar menerpa Profesor yang kebetulah lewat koridor
kampus.
Tiba-tiba ia merasakan sesak sekali di dadanya. Seorang staf
pengajar yang lain yang melihat Profesor Ueno limbung segera memapahnya ke
klinik kampus. Berawal dari hal yang sederhana itu, tiba-tiba kampus jadi heboh
karena Profesor Ueno pingsan. Dokter yang memeriksanya menyatakan Profesor Ueno
menderita penyakit jantung, dan siang itu kambuh. Mereka berusaha menolong dan
menyadarkan kembali Profesor. Namun tampaknya usaha mereka sia-sia. Profesor
Ueno meninggal dunia.
Segera kerabat Profesor dihubungi. Mereka datang ke kampus dan
memutuskan membawa jenazah profesor ke kampung halaman mereka, bukan kembali ke
rumah Profesor di Shibuya.
Menjelang malam udara semakin dingin di stasiun Shibuya. Tapi
Hachiko tetap bergeming dengan menahan udara dingin dengan perasaan gelisah.
Seharusnya Profesor Ueno sudah kembali, pikirnya. Sambil mondar-mandir di
sekitar balkon Hachiko mencoba mengusir kegelisahannya. Beberapa orang yang ada
di stasiun merasa iba dengan kesetiaan anjing itu. Ada yang mendekat dan
mencoba menghiburnya, namun tetap saja tidak bisa menghilangkan kegelisahannya.
Malam pun datang. Stasiun semakin sepi. Hachiko masih menunggu di
situ. Untuk menghangatkan badannya dia meringkuk di pojokan salah satu ruang
tunggu. Sambil sesekali melompat menuju balkon setiap kali ada kereta datang,
mengharap tuannya ada di antara para penumpang yang datang. Tapi selalu saja ia
harus kecewa, karena Profesor Ueno tidak pernah datang. Bahkan hingga esoknya,
dua hari kemudian, dan berhari-hari berikutnya dia tidak pernah datang. Namun
Hachiko tetap menunggu dan menunggu di stasiun itu, mengharap tuannya kembali.
Tubuhnya pun mulai menjadi kurus.
Para pegawai stasiun yang kasihan melihat Hachiko dan penasaran
kenapa Profesor Ueno tidak pernah kembali mencoba mencari tahu apa yang
terjadi. Akhirnya didapat kabar bahwa Profesor Ueno telah meninggal dunia,
bahkan telah dimakamkan oleh kerabatnya.
Mereka pun berusaha memberi tahu Hachiko bahwa tuannya tak akan
pernah kembali lagi dan membujuk agar dia tidak perlu menunggu terus. Tetapi
anjing itu seakan tidak percaya, atau tidak peduli. Dia tetap menunggu dan
menunggu tuannya di stasiun itu, seakan dia yakin bahwa tuannya pasti akan
kembali. Semakin hari tubuhnya semakin kurus kering karena jarang makan.
Akhirnya tersebarlah berita tentang seekor anjing yang setia terus
menunggu tuannya walaupun tuannya sudah meninggal. Warga pun banyak yang datang
ingin melihatnya. Banyak yang terharu. Bahkan sebagian sempat menitikkan air
matanya ketika melihat dengan mata kepala sendiri seekor anjing yang sedang
meringkuk di dekat pintu masuk menunggu tuannya yang sebenarnya tidak pernah
akan kembali. Mereka yang simpati itu ada yang memberi makanan, susu, bahkan
selimut agar tidak kedinginan.
Selama 9 tahun lebih, dia muncul di station setiap harinya pada
pukul 3 sore, saat dimana dia biasa menunggu kepulangan tuannya. Namun
hari-hari itu adalah saat dirinya tersiksa karena tuannya tidak kunjung tiba.
Dan di suatu pagi, seorang petugas kebersihan stasiun tergopoh-gopoh melapor
kepada pegawai keamanan. Sejenak kemudian suasana menjadi ramai. Pegawai itu
menemukan tubuh seekor anjing yang sudah kaku meringkuk di pojokan ruang
tunggu. Anjing itu sudah menjadi mayat. Hachiko sudah mati. Kesetiaannya kepada
sang tuannya pun terbawa sampai mati.
Warga yang mendengar kematian Hachiko segera berduyun-duyun ke
stasiun Shibuya. Mereka umumnya sudah tahu cerita tentang kesetiaan anjing itu.
Mereka ingin menghormati untuk yang terakhir kalinya. Menghormati sebuah arti
kesetiaan yang kadang justru langka terjadi pada manusia.
Sampai sekarang taman di sekitar patung itu sering dijadikan
tempat untuk membuat janji bertemu. Karena masyarakat di sana berharap ada
kesetiaan seperti yang sudah dicontohkan oleh Hachiku saat mereka harus
menunggu maupun janji untuk datang. Akhirnya patung Hachiku pun dijadikan
symbol kesetiaan. Kesetiaan yang tulus, yang terbawa sampai mati. “I’ll be
waiting for you” (Aku akan menunggumu)
Sumber : Wikepedia, Joyhomework, Hachiko A dog Stoory,
Editor : Lalang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar